Setiap hari seusai jam sekolah saya sering mengalami beberapa cedera. Setelah dua tahun rutin berlatih basket, pada suatu hari (tahun 2006)
timbul nyeri pada lutut dan tendon achilles. Saya masih memaksakan diri untuk
bermain basket karena saya sangat
mencintai olahraga
ini dan memiliki impian saya untuk menjadi atlet
basket profesional. Nyeri pada lutut dan kaki itu saya tahan demi bermain basket. Tapi saya menyimpan hal ini untuk diri saya sendiri.
Dengan
berlangsungnya waktu, nyeri
yang awalnya hanya terasa pada saat saya selesai berlatih basket, mulai
mengganggu aktifitas saya sehari-hari. Saya mulai merasa kesulitan untuk melangkah terutama saat menaiki
anak tangga di gedung sekolah. Aktifitas bermain basket yang rutin saya lakukan
sepulang sekolah, terpaksa saya hentikan untuk sementara tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada kaki
saya. Saya berharap dengan istirahat
sejenak dari aktifitas sehari-hari dapat
mengembalikan kondisi tubuh saya kembali normal.
Setelah tiga bulan nyeri tersebut
timbul di kaki saya, kondisi tubuh saya semakin memburuk. Saya mulai sering
absen di sekolah. Saya harus berhadapan dengan rasa sakit setiap harinya dan terpaksa
berhenti bermain basket secara
total. Untuk
berjalan saja, rasanya sulit sekali. Impian saya untuk menjadi atlet basket professional
dengan sangat terpaksa saya kubur
dalam-dalam. Hati saya hancur.
Lama-kelamaan postur badan saya yang semula tegak mulai menjadi bungkuk dan kaku. Setiap
hari, saya memulai kegiatan dengan rasa nyeri yang
luar biasa. Untuk berjalan dari kasur ke toilet saja,
saya tidak bisa. Sehingga terpaksa berhenti
sekolah hampir selama 1 bulan. Saya
tidak mengerti apa yang terjadi dengan tubuh saya. Kedua orang tua saya pun
bingung dan sempat stres melihat kondisi saya pada saat itu.
Beruntung saya dilahirkan di keluarga
yang cukup keras dan disiplin. Kedua orang tua selalu menekankan agar saya selalu
disiplin dalam segala hal khususnya bidang pendidikan. Seberat apapun rasa nyeri yang saya hadapi di pagi hari, setiap hari orang tua tetap mendorong saya untuk
pergi ke sekolah. Ya, saya pergi ke sekolah dengan postur tubuh yang bungkuk dan cara
berjalan yang aneh. Sampai di sekolah pun, saya hanya bisa duduk di kelas, karena
sulit bagi saya untuk berjalan dengan rasa nyeri yang luar biasa pada kedua kaki
saya.
Tidak hanya menderita secara fisik,
saya pun harus rela diejek dan dicemooh oleh orang-orang di sekitar saya pada
saat itu. Bayangkan saja, sebagai anak SMP yang seharusnya aktif dan lincah, saya justru kesulitan berjalan dan bungkuk. Akibatnya saya menjadi
bahan hinaan. Ejekan dan tertawaan teman-teman di
sekolah sudah menjadi makanan keseharian
saya.
Sebagai anak yang mulai memasuki usia
remaja, saya mulai tertarik pada lawan jenis. Beberapa kali saya mencoba untuk
mendekati teman wanita di kelas, tapi gagal. Dengan
kondisi fisik saat itu, sangat sulit untuk memiliki sahabat, apalagi teman
wanita. Bahkan ada beberapa teman wanita yang sempat melontarkan ejekan akan postur tubuh saya saat itu. Bertambah
hancur hati ini rasanya.
Ujian mental yang harus dihadapi masih berlanjut. Bukan hanya
di lingkungan sekolah; tetapi juga menerima
berbagai ejekan dari keluarga besar. Dilahirkan sebagai anak tunggal, saya
memiliki beban yang cukup berat, karena kelak
saya akan bertanggung jawab penuh terhadap kedua
orang tua saya. Hampir seluruh keluarga besar saat itu menganggap saya hanyalah
anak tunggal yang merepotkan dan membebani kedua orang tua. Sebagai anak, saya merasa sangat bersalah. Bukannya menjadi anak yang berguna bagi orang tua, saya justru menjadi beban
dengan penyakit saya. Dan lebih menyedihkan, saat itu saya
dan keluarga tidak mengetahui apa nama penyakit yang
begitu kejam menyiksa diri saya ini, sehingga membuat tubuh
menjadi bungkuk dan sulit berjalan.
“My world was
turned upside down”. Hidup saya
berubah total pada saat itu. Turun derajat
dengen kecepatan tinggi. Dari pemain inti
tim basket
sekolah yang memiliki impian menjadi atlet basket profesional,
menjadi anak cacat dan bungkuk yang
harus menghadapi nyeri luar biasa serta ejekan
setiap hari.
Setiap
hari saya hanya bisa merenung sendiri di kamar. ”What happen
with me?” “What happen with my life?” Mengapa saya? Saya
saat itu masih belum mengerti apa penyebab rasa nyeri yang luar biasa ini. Ada yang
bilang terkilir. Ada yang
bilang asam urat. Saat itu saya
menganggap diri saya terkena kutukan.
Hampir setiap minggu saya pergi ke
dokter spesialis yang berbeda-beda. Mereka hanya
memberi saya painkiller serta beberapa jenis vitamin yang dapat meredakan nyeri
untuk beberapa hari saja. Berbagai jenis terapi dan pengobatan alternatif pun
juga sempat saya jalani. Namun tiada
hasil. Setiap
pagi saya harus memulai hari dengan rasa nyeri yang
luar biasa.
Saya mungkin jatuh sampai ke titik
terendah pada saat itu. Hingga suatu hari
saya akhirnya bangkit dan bertekad “Saya tidak boleh kalah oleh penyakit ini! Saya tidak boleh membiarkan penyakit ini
menghancurkan hidup saya!”
Saya sangat bersyukur dilahirkan
dalam keluarga yang keras dan disiplin. Setiap hari saya terbiasa untuk
memaksakan diri menghadapi rasa sakit dan menjalani
aktifitas sehari-hari layaknya manusia normal. Hampir setiap hari saya
mengkonsumsi painkiller, tanpa mengetahui
apapun tentang penyakit yang diderita. Satu hal yang
saya tahu: painkiller
ini
dapat menghilangkan nyeri yang
mengganggu saya beraktifitas. Jika tidak diminum sehari saja, saya seperti
orang lumpuh. Tidak bisa bergerak.
Karena
dokter yang menangani kurang pengetahuan, mereka tidak bisa mendiagnosis nama
penyakit saya. Saya dan keluarga kebingungan. Dengan berat hati, saya harus
mengkonsumsi painkiller setiap hari
tanpa mengetahui nama penyakit yang
diderita. Rasanya menghadapi tembok. Tapi waktu itu, tidak terpikir untuk mencari tahu apa nama penyakit yang sebenarnya ada pada
tubuh saya. Saya hanya berusaha menjalani hidup saya selayaknya manusia normal. Menjadi sukses dan membahagiakan
kedua orang tua saya serta berguna bagi
orang di sekitar saya.
Setelah lulus dari bangku SMP pada
tahun 2007, saya mulai mencoba berolahraga kebugaran/fitness di pusat pengolahan tubuh (gym). Kedua orangtua mendorong dan
mendukung secara
penuh. Mereka berharap, dengan rutin berolahraga di
gym dapat membantu untuk mengembalikan
postur tubuh saya menjadi normal kembali.
Ternyata
sewaktu berolahraga
di gym, tidak seperti
yang saya bayangkan. Saya kesulitan menggunakan alat-alat di gym, karena postur tubuh yang gendut dan bungkuk. Banyak orang lain di
gym mulai membicarakan bahkan menjelek-jelekkan postur tubuh saya. Selesai berolahraga, biasanya saya selalu merasa nyeri.
Dengan tekad yang kuat untuk
mendapatkan postur tubuh ideal, saya rajin berolahraga di gym. Saya
menjalankan pola makan dan pola hidup sehat. Konsisten melakukan weight training dan berenang. Setelah berolahraga
saya rutin melakukan streching.
Hingga saat
ini, saya
sudah rutin berolahraga di gym selama 5 tahun. Tetapi perlu waktu sekitar
3 tahun untuk menurunkan berat badan saya yang overweight sampai mendapatkan
postur tubuh yang cukup ideal. Setelah 3 tahun itulah saya baru mengetahui nama penyakit yang ada pada tubuh saya. Namanya keren dan cukup menakutkan: Ankylosing Spondylitis.
Selama proses transformasi tersebut, saya selalu menanamkan pada
diri saya “Winners never quit, Quitters
never win.” Saya tidak akan pernah menyerah dengan apapun yang membatasi
dan menghalangi saya dalam mengubah postur tubuh saya. Banyaknya
ejekan yang ditujukan pada postur tubuh juga bukan merupakan alasan bagi saya untuk
menyerah. Saya selalu menganggap bahwa semua ejekkan itu ibarat batu yang
dilemparkan ke jalan tempat saya berpijak, dan saya tidak akan membiarkan batu
itu menjadi tembok yang menutupi jalan melainkan sebagai batu pijakan dimana
melalui ejekan-ejekan tersebut saya dapat menjadi orang yang lebih baik.
Proses untuk mengubah postur tubuh menjadi lebih baik memang susah dan cukup
menyiksa. Tetapi tidak ada sukses tanpa kerja keras. Batu
harus diasah untuk dapat menjadi berlian yang indah. Begitu juga tubuh kita.
Tuhan merancang sistem kehidupan ini
untuk kebaikan kita. Dia tidak akan menuntun umat-Nya ke jurang, Dia akan
selalu menuntun umat-Nya ke padang rumput yang hijau meskipun kadang harus
melalui jalan yang sempit dan berliku.
Saya sempat down dalam hidup saya, mengubur dalam-dalam mimpi saya untuk
membanggakan kedua orang tua saya dengan menjadi atlet basket. Saya sempat
beranggapan bahwa penyakit ankylosing
spondylitis ini adalah kutukan dalam hidup saya. Tetapi
Tuhan memberikan jalan-Nya bagi saya untuk mewujudkan mimpi saya. Sejak saya
memutuskan untuk tidak menyerah dan selalu berpikir positif, saya dapat melawan
penyakit ini.
Kisah perjalanan saya dalam membentuk
tubuh ideal pernah dimuat di website L-Men:
Prestasi saya sejauh ini adalah TOP 30 di audisi L-Men Of The Year 2012 Kota Surabaya,
TOP 30 di audisi L-Men Of The Year 2012
Kota Makassar, dan Semifinalis Nasional
Men’s Health Be Our Cover 2012. Saya juga berperan aktif menjadi ketua di L-Men Community Surabaya.
Satu hal yang dapat membuat saya
dapat melawan penyakit ini dan menjadi
manusia yang lebih baik adalah “Tidak
pernah menyerah”. Jangan pernah menyerah dalam menghadapi penyakit ini, karena
Tuhan tak pernah memberi cobaan melebihi kekuatan kita.